Kekuatan Sistem Matriarkal Sumatera Barat dari Segala Gempuran

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Apa pula hubungan antara perjumpaan budaya matriliarkat, Islam reformis dan pendidikan barat di Minangkabu dengan munculnya tokoh-tokoh pergerakan dari Sumatera Barat?

Judul: Sengketa Tiada Putus

Judul Asli: Muslim and Matriarchs - Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penulis: Jeffrey Hadler

Penterjemah: Samsudin Berlian

Tahun Terbit: 2011

Penerbit: Freedom Institute

Tebal: xli + 372

ISBN: 978-979-19466-5-0

 

Banyak suku yang dulu berbudaya matriarkat. Namun dengan datangnya Islam dan Barat budaya matriarkat ini kemudian surut dan tergantikan dengan budaya patrilineal. Hanya Minangkabaulah satu-satunya suku bangsa yang masih bertahan dengan sistem matriarkat. Mengapa budaya matriarkat di Minangkabau bisa bertahan? Padahal budaya ini mendapat serangan yang hebat oleh Islam reformis dan peradaban barat? Apa pula hubungan antara perjumpaan budaya matriliarkat, Islam reformis dan pendidikan barat di Minangkabu dengan munculnya tokoh-tokoh pergerakan dari Sumatera Barat?  Jeffrie Hadler membahas dan menarik kesimpulan yang sangat menarik dalam buku ini. Sengketa nan tiada putus dari ketiga sistem budaya inilah yang membuat Negeri Minang menghasilkan tokoh-tokoh pergerakan. Tokoh-tokoh yang bukan hanya laki-laki, tetapi juga para perempuan.

 

Adat dan Islam Reformis

Selaras dengan munculnya aliran Wahabi di tanah Arab pada akhir abad 18, gerakan pemurnian menyebar di banyak bagian bumi. Gerakan pemurnian Islam ini pun muncul di Tanah Minang. Sistem pewarisan yang tidak sesuai dengan hukum Islam dan kebobrokan kehidupan masyarakat yang tidak sesuai dengan standar Islam (Quran dan Hadist shahih) telah membuat gerakan pemurnian Islam merebak di Tanah Minang. Kehidupan masyarakat adat saat itu dinilai banyak kemaksiatan.

Perjumpaan Islam reformis dengan adat matriliarkat di Minang disikapi dalam tiga cara. Pertama adalah meninggalkan tanah Minang dan memutuskan hubungan dengan adat. Tindakan seperti ini diantaranya dilakukan oleh Akhmad Khatib al Minangkabawi. Akhmad Khatib al Minangkabawi mengutuk praktik hukum waris matrilineal di Minangkabau dan meninggalkan Tanah Minang untuk bermukim di Arab (hal. 35). Sikap kedua adalah sikap toleran terhadap adat dan lebih fokus untuk memerangi maksiat secara damai melalui khotbah-khotbah seperti yang dilakukan oleh Tuanku nan Tuo.

Sikap ketiga adalah melakukan pemurnian dengan kekerasan seperti yang dilakukan oleh kelompok Haji Miskin dan Tuanku Imam Bonjol. Kelompok yang bekerja sama dengan para pengikut Tuanku nan Tuo ini berupaya untuk menyembuhkan kemunduran dan kebobrokan moral orang sebangsa mereka—orang Muslim asal-asalan yang berpuas diri memakai bayangan mesjid untuk adu ayam, judi, dan mengisap Opium (hal. 77). Para Padri memilih untuk membangun perkampungan sendiri, dimana setiap rumah hanya diisi keluarga inti. Mereka berpakaian sederhana, lelakinya bekerja keras dan perempuannya hampir tidak pernah keluar rumah, tetapi bekerja keras di dalam rumah seperti perempuan tradisional pada umumnya (hal. 78). Namun tindakan mereka lebih lanjut adalah melakukan pembunuhan kepada para bangsawan Pagarruyung yang dianggap melindungi adat.

Masuknya Belanda dan Kebudayaan Barat

Pertikaian antara Islam reformis dan adat matriarkal ini mengundang Belanda untuk ikut campur. Dalam banyak narasi sejarah, pihak Padri dikalahkan oleh pihak adat yang disokong Belanda. Namun kesaksian Imam Bondjol sendiri, dalam memoarnya mengatakan bahwa gerakan pemurnian agama ala Wahabi telah dihentikannya sejak keponakannya dan Tuanku Tambusai pulang dari berhaji ke Mekah dan mengatakan bahwa ajaran Wahabi sudah ditinggalkan di Arab Saudi. Tuanku Imam Bondjol segera saja mengadakan rapat besar dengan mengundang kaum adat. Mereka, kaum Padri dan kaum Adat memproklamirkan “Adat bersadi syarak, syarak bersadi adat” yang segera diterima secara luas oleh masyarakat Minangkabau (hal. 46). Perdamaian kelompok reformis Islam dengan kelompok adat ini diikuti dengan penyerahan benteng Bonjol kepada Belanda. Namun kekurang-ajaran tentara Belanda dan Jawa di Benteng Bonjol menimbulkan kemarahan orang Minagkabau. Maka perang berkecamuk lagi. Belanda akhirnya bisa memenangkan perang pada tahun 1837.

Masuknya Belanda dalam pertikaian ini membawa budaya barat, penindasan melalui pajak dan tanam paksa serta sistem pendidikannya ke Tanah Minang. Setelah Belanda menguasai Minangkabau, maka sistem tanam paksa diberlakukan. Belanda mengangkat tokoh adat baru yang diberi gelar Tuanku Laras. Tuanku Laras adalah kepala rumah gadang yang bertanggung jawab untuk mensukseskan panen kopi. Rumah Gadang menjadi semakin penting artinya, karena rumah gadang menjadi simbol kekuasaan baru, yaitu tempat administrator sistem birokari Belanda tinggal. Bentuk Rumah Gadang menjadi semakin terkenal karena banyak orang Eropa yang berkunjung selalu mendapatkan tour ke rumah gadang dengan kegiatan pemotretan yang sering.

Pada awalnya Tuanku Laras diambil dari mereka yang mempunyai hak secara matrilineal untuk menjadi kepala rumah gadang. Namun dalam perjalanan selanjutnya, pengangkatan Tuanku Laras tidak lagi patuh kepada aturan matrilineal sehingga mendapat protes dari banyak pihak. Selain dari pemilihan Tuanku Laras yang semena-mena oleh Belanda, para Tuanku Laras ini adalah orang-orang penjilat dan korup. Sifat korupnya telah menimbulkan pemberontakan anti pajak berbasis tarekat pada tahun 1908 (hal. 92).

Intervensi Belanda tidak selesai dengan menggunakan rumah gadang sebagai pusat administrasi pemerintahan dengan dipimpin oleh seorang lelaki bernama Tuan Laras. Dengan alasan masalah kesehatan, moral dan keamanan, intervensi Belanda juga masuk ke dalam interior rumah yang berarti menyentuh tubuh penghuni rumah gadang. Intervensi kekuasaan Belanda berakibat pada pelemahan sistem matriarkal di Sumatra Barat adalah aturan tentang pembuatan dapun di luar rumah gadang. Seperti diketahui bahwa setiap keluarga inti di rumah gadang memiliki dapur sendiri-sendiri. Untuk mencegah kebakaran, Belanda melarang rumah gadang memiliki dapur di dalam. Akibatnya para keluarga ini memilih untuk membangun pondok yang bentuknya mirip rumah gadang di samping rumah utama tersebut. Berpisahnya keluarga inti ini menyebabkan sistem matriarkal di rumah gadang berubah.

Intervensi kedua adalah program pemberantasan penyakit cacar. Program yang menggunakan para lelaki sebagai mantri cacar telah membuat para lelaki merasa dirinya menjadi pelopor kemajuan. Belanda menggunakan berbagai pendekatan, termasuk silsilah agung para mantri cacar supaya suaranya didengar. Tapi silsilah adat yang agung, dukungan pemerintah, dan janji-janji kesehatan tidak selalu menjamin penerimaan menteri cacar oleh rakyat (hal. 117).

Hal ketiga yang perlu dicatat adalah penerapan sistem legal kolonial Belanda saat masa Tanam Paksa. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan Belanda telah memasuki wilayah kamar-kamar perempuan Minang. Belanda mengeluarkan aturan larangan aborsi dan hukuman terhadap perempuan yang melakukan persetubuhan dengan lelaki yang bukan suaminya.

Hadirnya Belanda di Tanah Minang membawa sistem pendidikan baru. Sekolah-sekolah model barat mulai hadir di Tanah Minang. Bahkan sekolah-sekolah yang berbasis Islam pun memakai sistem pengajaran ala barat. Pendidikan ala barat ini membawa nilai-nilai baru ke masyarakat Minang.

 

Sengketa nan membawa berkah

Perjumpaan tiga sistem kebudayaan ini menimbulkan sengketa nan tiada ujung. Baik Islam reformis maupun negara kolonial lebih menyukai patriarki tapi keduanya saling bercuriga satu sama lain. Matriarkat mencari jalan di antara kedua kekuatan ideologis ini (hal. 145). Sikap pragmatis dan kemampuan bermusyawarah, budaya matriarkal bisa bertahan berdampingan dengan Islam dan nilai-nilai barat. Sistem pewarisan matriarkal setidaknya masih bertahan. Demikian pun dalam identifikasi diri orang-orang Minang masih menggunakan sistem matrilineal.

Sengketa tiga sistem budaya ini juga berdampak pada generasi yang hidup di masanya. Anak-anak perempuan dan laki-laki mendengar tentang matriarkat di rumah, belajar tentang Islam di surau, dan menerima pendidikan Eropa di sekolah-sekolah “pribumi” yang didirikan Belanda. Seorang anak, terutama anak laki-laki hidup dalam tiga sistem budaya. Semasa kecil, sebelum akhil balik, anak-anak ini dididik di rumah gadang dengan aturan-aturan metriarkal. Setelah akhil balik anak-anak lelaki tinggal di surau dan mendapatkan pendidikan agama Islam. Sementara mereka juga pergi ke sekolah yang mengajarkan pendidikan model barat. Jika sudah cukup umur, mereka akan merantau mencari pengalaman atau berdagang di luar Minang. Sistem ini membuat anak-anak, terutama anak lelaki Minang mengalami perenungan terhadap hal-hal yang paling penting dalam nilai-nilai hidup. Pengalaman semacam inilah yang kemudian menciptakan generasi yang kritis dan menjadi tokoh-tokoh pergerakan.

Hadler menyimpulkan bahwa generasi dari masa ini secara politis bermacam ragam dan dinamik karena tumbuh dewasa dalam suatu dunia di mana setiap kebenaran suci dipertanyakan. Bahkan di kampung pun, gagasan akan rumah, keluarga, wewenang orangtua, dan pendidikan ditantang oleh reformis-reformis Islam dan negara kolonial. Lebih daripada di mana pun di Indonesia, di Sumatra Barat tidak ada apa pun yang bisa diterima bersih begitu saja-pun tidak gagasan-gagasan akan keluarga, rumah, kampung, agama, atau bahasa (hal. 15). Hadirnya pendidikan barat, penggunaan metode pedagogi baru di madrasah yang saling bersaing, kebudayaan merantau sehingga menyerap gagasan baru adalah faktor-faktor yang membuat generasi hebat Minangkabau di era pergerakan dan awal kemerdekaan. Saat pertentangan antara adat, Islam dan kolonialisme terjadi dan orang Minangkabau kehilangan keseimbangan akan kebenaran telah membuat mereka mencari hal baru untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan tersebut (hal. 15). Kondisi tersebut menyebabkan Minangkabau pada abad 19 menghasilkan generasi yang bisa menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Seperti halnya Agus Salim dan Muhamad Radjab, Muhammad Natsir, yang kemudian menjadi perdana menteri dan pemimpin politik Islam, mengalami pedagogi kontradiktoris (hal. 185). Tanah Minang juga menghasilkan tokoh-tokoh perempuan seperti Rohani Kudus.

Kesimpulan Hadler ini lebih dalam dariapda apa yang dikatakan oleh Taufiq Abdullah. Taufiq Abdulah berargumen bahwa tradisi merantau para lelaki Minang yang menyebabkan orang Minang terbuka untuk gagasan-gagasan dari luar. Ternyata bukan hanya karena budaya merantau saja yang menimbulkan sikap kritis orang Minang, tetapi sengekta tiga sistem budaya nan tiada ujunglah yang menjadi pemicunya.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler